Kamis, 14 Mei 2009

SEMA No 052/KMA/V/2009 Ttg ADVOKAT

KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

Tgl : 01 Mei 2009
Nomor : 052/KMA/V/2009
Lampiran :
Perihal : Sikap MA RI terhadap organisasi Advokat

Kepada
Para Ketua Pengadilan Tinggi
di-
Sikap Mahkamah Agung Terhadap Seluruh Indonesia.
Organisasi Advokat.
Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan dari para Ketua
Pengadilan Tinggi beberapa daerah, yang pada intinya mempertanyakan
bagaimana sikap para Ketua Pengadilan Tinggi sehubungan dengan adanya
permintaan penyumpahan Advokat. Begitu pula Mahkamah Agung Republik
Indonesia banyak menerima surat dari organisasi Advokat, baik dari
PERADI, KAI maupun dari PERADIN,yang kesemuanya menyatakan diri
sebagai organisasi Advokat yang sah, sedangkan yang lainnya adalah tidak
sah. Persoalan yang diajukan para Advokat ke Mahkamah Agung tersebut
sesungguhnya urusan Advokat yang merupakan urusan internal mereka.
Namun karena perbedaan-perbedaan persepsi di antara para Advokat
menimbulkan ketidakpastian bagi Pengadilan, sehingga mewajibkan
Mahkamah Agung untuk memberikan petunjuk kepada jajarannya dalam
menyikapi keadaan tersebut. Mahkamah Agung sudah berusaha untuk
mendapatkan masukan dari berbagai pihak antara lain dari Ketua
Mahkamah Konstitusi, Menteri Hukum dan HAM,Kapolri, Jaksa Agung dan
beberapa ahli hukum senior, namun masukan-masukan tersebut masih
bervariabe 1.
Petunjuk Mahkarnah Agung di dalam menyikapi berbagai sikap antara
para Advokat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Urusan perselisihan antara organisasi Advokat adalah urusan internal
mereka. Pengadilan tidak dalam posisi untuk mengakui atau tidak
mengakui suatu organisasi. Perselisihan mereka harus diselesaikan
sendiri oleh profesi Advokat atau apabila mengalami jalan buntu maka
dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
2. Di dalam Undang-undang Advokat (Undang-undang Nomor 18 Tahun
2003) disebutkan bahwa organisasi Advokat merupakan satu-satunya
wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai
ketentuan Undang-undang ini. Hal ini berarti bahwa hanya boleh ada
satu organisasi Advokat, terlepas dari bagaimana cara terbentuknya
organisasi tersebut yang tidak diatur di dalam Undang-undang yang
bersangkutan.
Di dalam kenyataan sekarang ini, ada tiga organisasi yang menyatakan
diri sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah, yang menurut
Mahkamah Agung harus diselesaikan menurut tata cara yang disebut
butir satu di atas.
Selama penyelesaian masalah tersebut belum ada, Mahkamah Agung
meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat
secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya perselisihan
terse but yang berarti Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah
Advokat baru sebagaimana yang d}tentukan dalam pasal 4 Undangundang
Nomor 18 Tahun 2003, karena akan melanggar pasal 28
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003.
3. Walaupun demikian, Advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai
dengan pasal 4 terse but di atas, tidak bisa dihalangi untuk beracara di
Pengadilan, terlepas dari organisasi manapun ia berasal. Apabila ada
Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan pasal 4
terse but (bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi), maka sumpahnya
dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan
beracara di Pengadilan.
4. Para Ketua Pengadilan Tinggi diminta untuk mendorong para Advokat
terse but untuk bersatu, karena tidak bersatunya mereka akan
menyulitkan dirinya sendiri dan juga Pengadilan.
Demikianlah petunjuk yang diberikan oleh Mahkamah Agung, untuk
dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Mahkamah Agung RI

ttd

DR. HARIFIN A TUMPA, SH,MH

Tembusan:
1. Para Wakil Ketua Mahkamah Agung RI
2. Para Ketua Muda Mahkamah Agung RI
3. Para Ketua Pengadilan TinggiAgama.
4. Para Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
~. Kadilmiltama.
6. Para Kepala Pengadilan Militer Tinggi.
7. Arsip.

Rabu, 25 Maret 2009

BURUH dan PEMILU

Indonesia mempunyai catatan tersendiri mengenai proses demokrasi, dimana pada awal pembentukan republik ini, para tokoh pejuang kemerdekan dipusingkan untuk membentuk jati diri sebuah bangsa yang notabene baru merdeka, sampai pada beberapa perdebatan yang menghasilkan gagasan tentang “sistem demokrasi pancasila” menuju “sistem demokrasi terpimpin” yang waktu itu di pimpin oleh presiden soekarno yang dikenal denga pemerintahan orde lama, meskipun sistem ini berjalan dengan kurun waktu 1945 - 1968, namun didalam prjalanannya mendapatkan kritik yang cukup pedas atas sistem yang dijalankannya.

Akhirnya sistem yang dibangun oleh soekarno tergulingkan oleh pemerintahan orde baru “soeharto” 1968 – 1998 orde baru merubah sistem demokrasi terpimpin menjadi “parlementer” yang mana cirin-cirinya adalah proses pemilihan dan pengangkatan presiden/wakil presiden dipilih oleh perwakilan rakyat yang duduk diparlemen (MPR).

Masing-masing rentetan politik di negeri ini memberiakan penilaian terhadap identitas, jati diri sebuah bangsa terhadap setiap saiapa yang memimpin. Orde lama menyumbangkan sifat nasionalisme, menyatukan bangsa. Orde baru yang menyumbangkan pembangunan yang pesat mulai dari supra sutruktur maupun infastruktur, pembangunan ekonomi, dan Pemerintahan yang Korup.

Sejak bergulingnya orde baru pada tahun 1998 yang di gulingkan oleh gerakan mahasiswa dan buruh, yang kemudian memasuki babak perubahan sistem di negara ini, yang dikenal dengan Era Reformasi membawa harapan terlaksananya demokrasi yang sesungguhnya, dan pada tahun 1998 mekanisme sistem demokrasi (dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat) baru dimulai dengan adanya pemilu 2004, dimana presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu, yang menghasilkan presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) dan wakil presiden (Yusuf Kala) priode 2004 – 2009.

Memasuki pemilu pada tanggal 9 april 2009, merupakan fase perubahan pemerintahan, proses pergantian kekuasaan, proses demokrasi, proses menuju perubahan, proses pemilahan umum, atau apalah namanya. Ini dilakukan 5 tahun sekali dengan mekanisme pemilahan umum yang berdasarkan atas Undang-undang Dasar 1945 dan UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakail Presiden serta UU No. 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Peran Buruh dalam Pemilu 2009
Ditengah-tengah krisis politik, kirisi demokasrasi akibat regiem yang otoriter selama 32 tahun, gerakan buruh terpenjarakan dalam ruji beji yang kokoh oleh sistem pemerintahan orde baru, pemasungan hak-hak untuk berserikat, berkumpul dan mendirikan organisasi dalam sistem sentralisasi 1 (satu) wadah SPSI. Pola politik yang tidak mencerminkan demokrasi tumbuh subur di negeri ini dalam keemimpinan Soeharto, dan pada akhirnya tahun 1999 di mulai dengan diratifikasinya konvenan ILO oleh pemerintahan BJ, Habibi, kebijakan ini memberikan jaminan bagi pemenuhan dan penghormatan bagi Hak Asasi Maanusia yang sepesifikasi mengenai pemenuhan tehadap kebebasan berkumpul, mendirikan organisasi, mendirikan serikat buruh.

Dengan diratifikasinya konvenan ILO, banyak bermunculan organisasi-organisasi buruh di negeri ini dan menandakan demokrasi telah dirasakan oleh kaum minoritas, dan dari sini gerakan-gerakan buruh turut andil dalam pentas politik dinegeri ini bahkan dalam menghadapi Pemilu 2009 ada satu parpol yang memakai nama paratai buruh, apakah itu tertanda bahwa pendidikan politik sanggat penting nagi buruh ataukah pendidikan politik ini mengantarkan pada bentuk politik etis atau politik praksis? Tentunya perlu dijawab secara bersama.

Pertumbuhan/perbaikan ekonomi, banyaknya infestor di indonesia, di telingga kita sering terdengar perubahan itu adalah hasil dari kebijakan pemerintah dan tidak melihat di sekelilingnya, buruh di jadikan sebagai obyek atas kebijakan, padahal tanpa buruh bagaimana pertumbuhan ekonomi kita bisa maju, ini yang sering dilupakan oleh pemerintah, dan saatnya buruh bangkit untuk memperjuangkan di tahun 2009.

Selama ini buruh hanya diam dan menjadi alat kepentingan bagi politik, apakah wacana ini yang mengakibatkan buruh menjadi banggkit dan turut serta dalam pemilu 2009 tentunya tidak demikian, berbagai persolan atas kebijakan yang di buat oleh pemerintah yang tidak demokratis menjadi salah satu falsafah atas gerakan buruh untuk turut serta membangun negara ini menuju demokrasi yang dicita-citakan masyarakat, dan bukan sebagai ajang coba-coba belaka. Benarkah demikian adanya?

Momen pemilu 2009 rakyat indonesia mempunyai berjuta mimpi, harapan untuk adanya suatu perubahan dalam negeri ini, mulai dari petani, buruh, tukang ojek, tukang becak, buruh migran, sampai pada elit politik. Mempunyai harapan dan cita-cita yang beragam tapai kesemuanya harapan itu bisa diasumsikan dengan adanya perubahan yang baik dalam negeri ini.

Berbondong-bondong semangat telah terkobarkan pada rakyat yang berada pada posisi minoritas atau pada level setrata bawah (buruh), momen 2009 tidak bisa lagi dilewati, dan diabaikan. Demokrasi telah lahir tak bisa disiasiakan untuk melakukan perubahan begitulah buruh menyikapi dengan mencalonkan diri untuk turut andil dalam pemilihan 2009, banyak partai yang sudah familyer di telingga masyarakat mencalonkan buruh untuk menjadi Caleg DPR RI maupun Caleg DPD, dan ada buruh yang di usung dari partai baru yang mengatasnamakan ”partai buruh”, entah partai ini adalah representatif dari buruh atau tidak? Yang jelas misi, visinya adalah untuk kemajuan bagi buruh.

Tantangan Bagi Buruh
34 parpol dalam pemilu 2009 siap membuka tabir perpolitikan di indonesia dan kesemaunya itu saling merebutkan posis nomor wahid (satu) di indoesia, berbagai tampilan atribut (logo) partai yang hampir sulit di inggat dan membingungkan masyarakat, di tambah lagi dengan beberapa jargon setiap partai yang mengatakan bahwa partainya yang terbaik dan mampu mewujudkan demokrasi, mengemban aspirasi masyarakat dan banyak lagi tawaran politik yang di lontarkan.

Semakin banyaknya partai semaikin panas permainan percaturan, senggol kiri, singgol kanan, senggol depan, senggol belakang seperti halnya goyangan Inul dan Dwi Persik saja watak politik indonesia, begitulah kondisinya ditengah-tengah kebodohan masyarakat akan pendidikan politik dan transisi menuju demokrasi di negara ini. Nah bagaimana dengan Buruh?

Posis buruh akhir-akhir ini cukub besar, namun perlu difahami beberapa serikat buruh bahwa dengan jaminana HAM atas kebebasan serikat membawa pada fragmentasi, pengkotak-kotakann seikat, lahirnya beberapa serikat buruh di daerah-daerah belum terkonsolidasikan menjadi satu suara satu perjuangan, dan ini menjadi tugas yang berat bagi buruh.

Disamping persolan beragamnya serikat buruh perlu diwaspadai juga, bahwa dalam pemilu ini strategi adu domba dari oknum dalam memecah persaudaraan/solidaritas di tinggkat buruh maupun serikat buruh mudah diserangkan, misalnya buruh A diajukan oleh Partai B, dan buruh A didukun oleh partai C, ini akan terjadi di dalam politik kita sehingga mulai dari sekarang serikat buruh/buruh harus memikirkan strategi supaya tidak adanya perpecahan di dalam tubuh serikat.

Sejarah mencatat bahwa gerakan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, solidaritas sanggat perlu dalam dunia gerakan inggat pada pepatah “1 (satu) lidi mudah untuk dipathkan, akan tetapi seribu lidi jadi satu maka tidak mudah untuk dipathakan”, oleh sebab itu perlu difahami dengat seksama, jadi tinggal seperti apa strategi yang di gagaskan untuk menarik simpati dan solidaritas?

Harapan Buruh
Dengan munculnya semnagat buruh untuk turut andil dalam pentas politik ditanggah air, diharapkan mampu membawa suara-suara dari bawah untuk diperjuangkan dalam kursi panas di dewan, dan mampu membawa kemajuan politik, sosial, ekonomi dan pembangunan.

Inggat bahwa pilihan buruh duduk disana adalah bukan sebagai gagah-gagahan belaka melainkan buruh harus siap menjadi “PELAYAN BAGI MASYARAKAT”. Dan inggat bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya”. (Q.S. Ar Ra'du:11). Dengan hal ini perubahan atas perbaikan ekonomi, kesejahteraan, demokrasi, pemerintahan yang adil, ada dalam pundak kita masing-masing dan hari ini buruh menunjukan sikap untuk melakukan perubahan di negeri ini untuk turut andil dalam pemilu 2009. Sehingga peran buruh dalam pentas politik perlu mendapatkan dukungan dari kita semua.

Rabu, 11 Maret 2009

HAK ULAYAT

Nasib Hak Ulayat atas Tanah dan Hutan (Refleksi Persoalan Hak Ulayat di Sumatera Barat Untuk Tahun 2009)

Oleh: Nurul Firmansyah, SH
[Penulis adalah Peneliti Pada Perkumpulan Qbar, Padang (www.Qbar.or.id)]

 Konflik-konflik hak ulayat atas tanah dan hutan pada tahun 2008 mewarnai perjalanan kehidupan bermasyarakat di sumatera barat. Menurut catatan BPN Propinsi Sumatera Barat (2008), terdapat 801 konflik tanah (agraria) dengan proporsi terbesar di konflik tanah ulayat, sehingga daerah ini menduduki peringkat ketiga Nasional dalam sengketa agraria. Berbagai Konflik-konflik tersebut bila di telaah lebih cermat di bagi atas dua kategori, yakni konflik yang bersifat horizontal, dan konflik yang bersifat vertikal.

Pada kategori pertama berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat nagari dengan masyarakat nagari lainnya dan konflik dalam internal masyarakat nagari, seperti; konflik tapal batas nagari muaropingai-saniangbaka di kabupaten solok--- yang terakhir di nagari lubuk basung, kabupaten agam --- dan berbagai konflik tanah kaum dalam nagari. Sedangkan pada kategori kedua berhubungan dengan konflik hak ulayat yang melibatkan masyarakat nagari dengan negara (pemerintah) dan atau pemilik modal, seperti; konflik nagari-nagari dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di pesisir selatan, konflik perkebunan kelapa sawit di kampung aie maruok kabupaten Pasaman Barat, dan berbagai konflik lainnya yang melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat nagari.

Mengurai Konflik
Konflik-konflik hak ulayat menurut DR. Afrizal ( FISIP UNAND, 2007) berkaitan dengan tekanan kekuatan dari luar komunitas (masyarakat) nagari sehingga melemahkan otonomi nagari dalam meresolusi konflik dan bahkan mengancam eksisitensi penguasaan ulayat itu sendiri, artinya konflik horizontal berhubungan erat dengan konflik vertikal. Kekuatan-kekuatan yang menekan tersebut aktif dilakukan oleh negara dan pemilik modal, baik melalui penerapan hukum formil (baca; hukum negara) represif yang nirperlindungan hak-hak masyarakat adat dengan acap kali dibarengi oleh dukungan modal. Tesis ini secara praksis terlihat dari; Penunjukan kawasan hutan negara secara sepihak, klaim HGU, HPH, dan hak-hak lainnya dari hukum negara terhadap hak ulayat masyarakat nagari. Berbagai kasus di sumatera barat menunjukkan fenomena tersebut, tengok saja konflik hak ulayat di pelbagai kawasan hutan di sumatera barat, konflik tanah ulayat di sentra-sentra perkebunan kelapa sawit, yakni; pasaman barat, solok selatan dan pesisir selatan, dan berbagai konflik hak ulayat lainnya memperlihatkan peran penting negara dan pemilik modal dalam kasus-kasus itu.

Fenomena diatas berakibat pada penghilangan dan atau pengkaburan hak ulayat atas tanah dan hutan. Selain itu berakibat juga pada peruntuhan daya paksa norma-norma adat dalam mengatur lalu lintas pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan hutan bagi anggota masyarakat nagari maupun terhadap kelompok lain di luar masyarakat nagari. Artinya hal ini bukan hanya melulu pada soal konflik hak ulayat, namun telah berlanjut pada konflik hukum, yakni antara hukum negara dengan hukum adat yang hidup di masyarakat nagari yang berpengaruh besar terhadap kebutuhan tertib sosial masyarakat secara lebih luas.

Alpanya Perlindungan hak Ulayat.
Perbedaan paradigma antara hukum negara dengan hukum adat merupakan penyebab utama konflik ini. Paradigma hukum negara yang mengatur tanah dan hutan bersifat individual, formal dan menitikbertakan pada sisi ekonomi bertabrakan dengan paradigma hukum adat yang komunal, informal dan bukan hanya bersisi ekonomi, namun juga kultural - sosial. Perbedaan tersebut nyata-nyata belum diakomodir oleh hukum negara sehingga memunculkan ruang kosong antara hukum negara dengan hukum adat (Legal Gap) yang tentunya mendorong marjinalisasi hak ulayat atas tanah dan hutan dalam hukum negara. Baik itu UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK) dan UU Pokok Agraria (UUPA) belum tuntas mengakui keberadaan hak ulayat secara utuh atas hutan dan tanah. UUK memposisikan hutan adat (ulayat) determinan atas hutan negara sedangkan UUPA membatasi berlakunya hak ulayat dengan dalil “kepentingan nasional.” Memisahkan hak ulayat dari kepentingan nasional bukanlah hal yang logis sebab kepentingan-kepentingan masyarakat adat seutuhnya bagian dari kepentingan nasional. Pemisahan tersebut tentunya melahirkan stereotipe negatif bagi keberadaan hak ulayat dan masyarakat adat itu sendiri.

Batasan kepentingan nasional dalam UUPA tidak dijelaskan lebih lanjut, sehingga melahirkan interpretasi beragam. Interpretasi itu disesuaikan dengan kebutuhan rezim yang berkuasa di negeri ini. Secara in concreato penafsiran kepentingan nasional acap kali di distorsi sesuai dengan kebutuhan rezim yang berkuasa terutama setelah rezim Orde Baru hadir yang memilih pertumbuhan ekonomi dengan topangan pemilik modal besar sebagai strategi ekonominya, sehingga kebutuhan ekstraksi tanah dan hutan adalah keniscayaan. Sampai saat ini pun kecenderungan tersebut masih berlaku.

Otonomi daerah
Bergulirnya reformasi membuka “kran” politik dan partisipasi masyarakat dalam proses hukum, dibarengi dengan penyebaran kuasa-kuasa negara ke daerah. Pada prinsipnya, otonomi daerah menghargai kebutuhan keberagaman daerah dalam kehidupan bernegara yang tentunya menghargai juga keberagaman identitas masyarakat adat. Propinsi sumatera barat menangkap peluang itu dengan mencoba merekonstruksi ulang nagari sebagai basis pemerintahan dan kesatuan masyarakat adat melalui perda 9 tahun 2000 sebagaimana di rubah dengan Perda No.2 tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari (perda Pemerintahan nagari), sejak itulah semangat kehidupan bernagari bergeliat

Perda pemerintahan nagari secara jelas menyebutkan ulayat nagari sebagai bagian dari harta nagari yang bisa dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan hukum adat yang ada di nagari, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Perda Propinsi Nomor 6 tahun 2007 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya (Perda TUP), Nyatanya hal tersebut belum sepenuhnya terpenuhi akibat benturan kebijakan kehutanan dan pertanahan nasional dan substansi Perda TUP yang belum tuntas mengatur perlindungan hak ulayat atas tanah dan hutan. Dalam Perda TUP , semangat pemanfaatan lebih ketara dari pada semangat perlindungannya, sehingga belum menjawab persoalan mendasar hak ulayat atas tanah dan hutan, hal ini terlihat dari; pertama, masih diadopsinya HGU, dan Hak Pakai dalam memanfaatkan hak ulayat yang selama ini sebagai sumber konflik hak ulayat. Kedua, mendorong sertifikasi tanah ulayat yang berpotensi pada penyerahan hak kepada pihak ketiga di luar komunitas nagari. Ketiga, belum jelasnya mekanisme resolusi konflik pada tanah dan hutan ulayat yang telah dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal (pihak ketiga).

Nasib hak ulayat atas tanah dan hutan di sumatera barat nampaknya tidak berbeda jauh dari kondisi sebelumnya, sehingga berbagai konflik hak ulayat niscaya masih berkobar. Namun dari kondisi itu, peluang untuk mencari solusi persoalan hak ulayat atas tanah dan hutan masih terbuka dengan melahirkan kebijakan di tingkat daerah kabupaten dan kota yang mengutamakan perlindungan hak ulayat, bukan pada pada sisi pemanfaatannya saja. Urgensi pengaturan perlindungan hak ulayat terutama di daerah-daerah sentra perkebunan besar dan konsesi kehutanan, yakni kabupaten Pasaman Barat, Solok Selatan dan Pesisir Selatan. Adapun substansi perlindungan tersebut, adalah; pertama; mengukuhkan hak ulayat atas tanah dan hutan, kedua, menghargai pola pemanfaatan yang hidup di nagari, baik itu bagi masyarakat nagari maupun pihak ketiga dan ketiga, merancang resolusi konflik yang utuh terutama pada tanah dan hutan yang telah dikuasai oleh negara dan atau pemilik modal serta peran aktif-partisipatif pemerintah kabupaten dalam menyikapi konflik horizontal hak ulayat dengan pendekatan sosial – kultural. Akhir kata, Semoga persoalan hak ulayat atas tanah dan hutan di tahun 2008 dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua dalam mencari solusi yang baik untuk menjawab pelbagai persoalan tersebut di tahun 2009 ini.